Narasumber
dari pelatihan belejar menulis malam ini, Senin tanggal 09 November 2020 menyebut dirinya sebutir pasir. Saya bertanya dalam
hati selama mengikuti sesi pelatihan, apa maksud dari sebutir pasir ini. Namun tidak
saya temukan jawaban sampai sesi berakhir. Barangkali nanti seiring berjalannya
waktu saya bisa menjawab pertanyaan saya sendiri.
Narasumber
hebat malam ini masih muda namun karya yang dihasilkan sudah membuat saya
tertegun. Ibu Ditta Widya Utami, S.Pd seorang guru Subang. Beliau ternyata dari
kecil sudah bersahabat dengan buku. Kedua orangtua beliau sangat berperan dalam
menumbuhkan literasi dalam diri Ditta kecil.
Berbekal
kegemaran membaca dan menulis dari kecillah beliau mengembangkannya di mading
sekolah dan mengikuti berbagai kegiatan lomba. Bisa kita bayangkan bagaimana terasahnya
kemampuan beliau dalam menulis. Saya berusaha menilai diri saya sendiri pada
saat mengkuti kelas ini.
Begitu
jauh tertinggalnya saya, diusia yang sudah hampir kepala lima baru masuk dalam
komunitas menulis. Apalagi dilihat dari ketrampilan menuangkan ide dalam bentuk
karya, sangat jauh tertinggal. Namun saya bertekad untuk bisa menulis, apalagi
narasumber memberikan materi yang menarik yaitu “bagaimana memulai menulis”, dengan
moderator Sri Sugiastuti (Bu Kanjeng).
Hal
yang menarik dari paparan beliau adalah setiap hari sebetulnya kita sudah
menulis. Kita tidak menyadari bahwa membalas chat, mengisi jurnal mengajar,
memberikan feedback pekerjaan siswa dan lain lain itu adalah menulis. Hanya saja
begitu mendapat tantangan untuk menulis buku atau blog terasa sangat berat. Seolah
melihat hantu yang menyeramkan, mau lari sudah diujung jalan buntu, lidah kelu,
kaki bagai tertanam di bumi. Saya
menahan napas pada saat point ini. Saya baru mendapat angin segar begitu
narasumber juga pernah mengalami hal yang sama.
Adapun
yang waktu itu narasumber lakukan adalah
1. Ikut
kelas menulis
banyak ilmu dari narasumber berikut motivasi, tips dan trik
menulis bahkan tak jarang banyak hadiah atau kejutan.
2. Ikut
komunitas menulis
Wadah untuk saling berbagi tulisan, dengan kita membaca
karya orang lain akan mempertajam ketrampilan kita.
3. Ikut
lomba menulis
Tantangan untuk menghasilkan karya dalam batas waktu tertentu.
Kesempatan yang patut dicoba untuk mengetahui kekurangan.
4. Menulis
apa saja yang ada di sekitar/dalam keseharian kita
Lingkungan menyajikan ide yang akan menjadi karya. Menulis apa
saja yang terlintas di pikiran dan fakta di depan mata. Jadikan Blog, Buku
harian, HP, Laptop atau platform menulis yang lain sebagai sarana memuat tulisan
tersebut. Target sangat pegang peranan penting. Ide yang kemudian menjadi
naskah siap untuk terbit menjadi buku solo ataupun kolaborasi. Kedua-duanya ada
kelebihan dan kekurangan.
Buku solo semua biaya dan proses pengajuan naskah dilakukan
sendiri namun lebih leluasa memilih tema dan deadlinenya. Sementara jika buku kolaborasi
tema dan ketentuan lain sesuai aturan, kelebihannya adalah biaya lebih murah
karena ditanggung bersama. Kelebihan lain dari buku kolaborasi adalah proses
ada yang menghandle.
5. Menulis
apa saja yang kita suka
Tulisan akan mengalir terus selagi ide karya tersebut
adalah hal-hal yang menjadi kegemaran.
Karya
solo dan kolaborasi narasumber serta keaktifan beliau di beberapa komunitas semakin
membuktikan kalau beliau bukanlah sebutir pasir. Kerendahan hati narasumber
serta kesantunannya dalam memaparkan materi membuat kelas hidup.
Salam sehat untuk pembaca tercinta
Dari saya Cah Nungki
@notes pelatihan 09 Nopember 2020
0 Komentar