| Layanan Konsling hari Jum'at, 19 Februari 2021 |
Kesabaranku
pagi ini benar-benar diuji. Ketika diam dalam perenungan setelah pulang dari
sekolah tercinta SMP Negeri 29 Jakarta. Badan menuntut untuk istirahat sejenak, namun
kenapa otak ini malah bekerja keras. Pikiran ini mengembara untuk mencari jawaban
atas rasa penasaran yang mendera. Berhasilkah tadi pagi menghadapi ibu dan anak
yang hadir di ruang BK dengan sabar?
Pergaulan
sehari-hari baik di sekolah, lingkungan masyarakat sekitar bahkan di dalam
keluarga sering terdengar kata sabar. Tidak jarang kita jumpai orang menyatakan
“saya sudah menerima dengan ikhlas, namun kalau jadinya begini saya tidak
terima. Kesabaran ada batasnya”.
Sebuah
kalimat yang membuat saya merenung sepanjang sore. Hal ini berawal pada kasus
yang tadi pagi harus diselesaikan. Seorang anak perempuan kelas IX, anggap saja
namanya Ani. Ani memiliki masalah dalam semua mata pelajaran. Hari pertama di
panggil yang hadir ibu kandungnya.
Hari
kedua dipanggil, Ani menyatakan tidak bisa hadir karena sakit. Barulah pada
panggilan ketiga Ani hadir didampingi ibunya. Layanan BK berlangsung sebagaimana
kaidah yang berlaku. Ani dan orang tua saling bercerita, mengeluarkan isi hatinya.
Saya
selaku guru BK sebatas memberikan umpan. Tujuan dari pemberian umpan ini untuk
menggali informasi sebanyak mungkin. Sebagai resume cerita dari Ani dan ibunya,
akan saya tulis secara singkat.
Keluarga
yang awalnya tinggal di wilayah Kebayoran Lama Jakarta Selatan ini, karena
kondisi ekonomi pindah ke Parung Panjang. Alasan utama tinggal di kontrakan selama
ini adalah mendekati sekolah dan pekerjaan ayah Ani.
Ayah
Ani berkerja sebagai penjual barang bekas di pasar loak Kebayoran Lama. Penghasilan menurun
dan Ani sendiri tidak sekolah tatap muka, maka keluarga memutuskan pulang ke
rumah mereka.
Selain
faktor ekonomi ternyata kepindahan keluarga ini sebagai usaha menjauhkan Ani
dari pacarnya. Ani sudah memiliki pacar seorang anak SMA kelas X. Selama
tinggal di kontrakan pasangan muda-mudi ini sering bertemu, bahkan di kondisi
pandemi. Keluarga kedua belah pihak sudah memberikan pengertian kepada sejoli
yang baru kasmaran tersebut.
Kepindahan
keluarga ini memang menjadi solusi dalam
masalah ekonomi, namun tidak dengan perilaku Ani. Ani masih menghabiskan waktu
untuk pacaran, walaupun tidak bertemu langsung. Ani kuat berlama-lama chating
atau Video Call dengan pacarnya.
Sang ibu hanya meyakini bahwa anaknya serius belajar.
Sebagaimana
yang kita pahami masa pandemi ini anak menjadi lebih dekat dengan gawai untuk
melaksanakan pembelajaran. Ibu Ani yang tidak memiliki pendidikan cukup,
menjadi kendala untuk memantau pembelajaran Ani. Sebagian info yang tertangkap ibu Ani,
bahwa pembelajaran anaknya menggunakan google classrom, google meet, zoom,
email dan lain lain.
Kata-kata
yang asing dan baru bagi ibu Ani, oleh karenanya beliau langsung percaya manakala
anaknya serius di depan HP. Sang ayahpun tidak berbeda jauh pemahamannya dengan
istrinya. Ayah selain pergi pagi dan pulang sore untuk berjualan, juga kurang
memahami pembelajaran model pandemi ini.
Fakta
lain yang membuat saya terhenyak di tempat duduk. Kelas IX semester genap tahun
pelajaran 2020/2021 akan segera berakhir, namun Ani hanya memiliki kontak wali
kelas dan saya sebagai guru BKnya. Jangankan mengikuti zoom meet atau google
meet, google classroom pun hanya ada mata pelajaran IPA (mata
pelajaran yang diampu wali kelasnya).
Sebuah
tanda tanya besar muncul di kepala saya. Apakah selaku guru BK saya gagal
menyapa Ani setiap pagi?. Sapaan pagi melalui chat di whatsapp. Apalagi
kalau Ani belum terlihat absen, saya akan gencar membangunkannya. Apabila Ani tidak merespon langsung chat
ke ibunya.
Pertanyaan
dalam hati ini tidak bisa bertahan lama. Berikutnya yang terjadi pertanyaan
meluncur dengan sempurna. Keterkejutan ibu Ani makin bertambah manakala anaknya
menyatakan jam 01.00 WIB masih terjaga. Hal inilah yang membuat Ani terlambat
bangun.
Setiap
pagi sang ibu menyiapkan keperluan keluarga dan membangunkan Ani. Terkadang waktu
Ani belum sempurna terbangun ibunya sudah berangkat berjualan. Ibu Ani sendiri
berjualan gorengan untuk membantu ekonomi keluarga.
Banyak
hikmah yang saya petik dari layanan bimbingan dan konseling pagi ini. Kata sabar
benar-benar teruji pagi ini. Kondisi pandemi, ekonomi keluarga, pendidikan
orang tua, karakter peserta didik, dan pengaruh teman/pacar menjadikan masalah
Ani semakin dalam.
Ternyata
kehidupan menjadi guru yang paling hebat. Kehidupan sebagai guru BK dengan
segala warna masalah peserta didik menjadikan saya mampu menahan diri. Berusaha
tetap tenang, nyaman dan menjaga kontrol saat mendengar cerita dari kedua tamu
saya pagi ini di ruang BK. Dibalik sikap diam saya mendengarkan cerita ibu dan
anak, selalu terpecut niat menumbuhkan pikiran positif dan fokus.
Layanan
konseling yang memakan waktu hampir dua jam berakhir dengan sebuah keputusan
yang diambil oleh Ani. Saya selaku guru BK mengarahkan agar keputusan yang
dibuat dapat dipertanggungjawabkan.
0 Komentar